D
I
S
U
S
U
N
O
L E H :
KELOMPOK : 4
(EMPAT)
ANGGOTA : AMIR
FINDA
:
DEDI SAPUTRA
:
FAKHRUL HABIBI
:
FITRIANI
:
IRMAWATI
:
MARHAMAH
SEMESTER : II
(DUA)
UNIT :
A
DOSPEN :
IKHWANI, S.Hi, MH
UNIVERSITAS
ALMUSLIM
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN POLITIK
KAB.
BIREUEN
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum wr. wb
Puji dan syukur kami ucapkan kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Saya juga bersyukur atas berkat rezeki dan
kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat mengumpulkan bahan –
bahan materi makalah ini dari internet. Kami telah berusaha semampu saya untuk
mengumpulkan berbagai macam bahan tentang Tasawuf
Di Indonesia.
Kami sadar bahwa makalah yang kami
buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu kami mengharapkan saran dan
kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Oleh karena itu kami mohon bantuan dari para pembaca.
Demikianlah makalah ini kami buat,
apabila ada kesalahan dalam penulisan, kami mohon maaf yang sebesarnya dan
sebelumnya kami mengucapkan terima kasih.
Wassalam
Matangglumpang
Dua, 10 Mei 2013
KELOMPOK 4
KELOMPOK 4
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kajian tasawuf Nusantara adalah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kajian Islam di Indonesia. Sejak masuknya Islam di Indonesia
telah tampak unsur tasawuf yang mengisi kehidupan beragama masyarakat
Indonesia, bahkan saat inipun kajian mengenai tasawuf masih menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari Indonesia, dapat dibuktikan dengan semakin maraknya kajian
Islam.
Menurut Dr. Alwi Shihab, tasawuf
adalah faktor terpenting bagi tersebarnya Islam secara luas di Asia Tenggara.
Meski setelah itu terjadi perbedaan pendapat mengenai kedatangan tarekat,
apakah bersamaan dengan masuknya Islam atau datang kemudian. Perbedaan yang
sama terjadi pula mengenai tasawuf falsafi yang diasumsikan sebagai sumber
inspirasi bagi penentuan metode dakwah yang dianut dalam penyebaran Islam
tersebut.
Maka dari itu dalam makalah ini kami
akan menjabarkan mengenai bagaiamana tasawuf yang bekembang di Indonesia.
B. Rumusan
Masalah
1.
Masuknya islam ke Indonesia
2.
Masuknya tasawuf ke Indonesia
3.
Pemikiran tokoh tasawuf di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masuknya
Islam ke Indonesia
Kapan persisnya
Islam pertama kali masuk ke Indonesia? Sebagian besar orientalis berpendapat
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 H dan 13 H. Pendapat itu
didasarkan pada dua asumsi: pertama, bersamaan dengan jatuhnya Baghdad pada 656
M di tangan penguasa Mongol yang sebagian besar ulamanya melarikan diri hingga
ke Kepulauan Nusantara, kedua, ditemukannya beberapa karya sufi pada abad ke-7
H. Menurut Dr. Alwi Shihab, asumsi itu tak bisa diterima. Bagi dia, justru
Islam pertama kali masuk ke Nusantara pada abad pertama Hijriyah. Yakni, pada
masa pedagang-pedagang sufi-Muslim Arab memasuki Cina lewat jalur laut bagian
barat. Kesimpulan itu didasarkan pada manuskrip Cina pada periode Dinasti Tang.
Manuskrip Cina itu mensyaratkan adanya permukiman sufi-Arab di Cina, yang
penduduknya diizinkan oleh kaisar untuk sepenuhnya menikmati kebebasan
beragama.Cina yang dimaksudkan dalam manuskrip pada abad pertama Hijriyah itu
tiada lain adalah gugusan pulau-pulau di Timur Jauh, termasuk Kepulauan
Indonesia. Dari laporan jurnalistik Cina itu pula kita mendapati informasi baru
bahwa ternyata jalur penyebaran Islam mula-mula di Indonesia bukanlah dari tiga
jalur emas (Arab, India, dan Persia) sebagaimana tertulis dalam buku-buku
sejarah selama ini, melainkan dari Arab langsung. Itu seperti dinyatakan kedua
orientalis terkemuka, GH Niemn dan PJ Velt bahwa orang-orang Arab-lah pelopor
pertama memperkenalkan Islam di Kepulauan Nusantara. Yakni dari keturunan Ahmad
ibn Isa al-Muhajir Alawi.
B. Masuknya
Tasawuf ke Indonesia
Tasawuf
merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pengkajian islam di
Indonesia, Irak Palestina dan lain-lain. Sejak Masuknya islam ke Indonesia,
unsur tasawuf telah mewarnai kehidupan keagamaan
masyarakat, bahkan hingga saat inipun, nuansa tasawuf masih kelihatan menjadi
bagian yang tidak terhapurkan dari pengalaman keagaaan kaum muslis di Indonesia.
Bila membicarakan tentang sejarah dan pemikiran
tasawuf di indonesia, aceh memainkan peran yang sangat penting. karena aceh
merupakan wilayah yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah indonesia khususnya
, umumnya dengan malaysia, thailand, brunei darussalam, dan negara semenanjung
malaya.untuk itu tentang sejarah pemikiran tasawuf di indonesia, aceh menempati
posisi pertama dan strategis, karena nantinya akan mewarnai perkembangan
tasawuf di indoensia secara keseluruhan. Menelusuri mewabahnya aliran ini di
Indonesia, maka hal ini tidak lepas dari pada peran andil orang-orang yang
melakukan study ( belajar ) ke negara Timur tengah. Diantara para pelopor
berkembangnya aliran tasawuf di Indonesia, sebagaimana yang disebutkan
dibeberapa literatur diantaranya adalah : Nuruddin Ar Raniri ( wafat tahun 1658
M ), Abdur Rauf As Sinkili (1615 -1693 M ), Muhammad Yusuf Al makkasary (
1629-1699 M ). Mereka ini belajar di kota Makkah[1].
Abdurrauf As-sinkili setelah belajar beberapa lama
kemudian diangakat sebagai khalifah Tarekat Syatariyah oleh Muhammad Al
Quraisy. Dirinya kembali ke Aceh setelah gurunya meninggal. Keberadaanya di
tanah Aceh cukup dipandang oleh para penduduk bahkan dijadikan sebagai panutan
dimasyarakat, bermodal kepercayaan yang telah diberikan masyarakat kepadanya
serta kegigihan murid-muridnya, maka dengan mudahnya ia berhasil mengembangkan
ajaran Thariqot sufiyahnya dengan perkembangan yang sangat pesat hingga paham
itu tersebar sampai ke Minang kabau ( Sumatra Barat ). Salah satu murid Abdur
Rouf as Sinkili yang berhasil menyebarkan paham ini adalah Burhanuddin.
Demikianlah jejak pemahaman yang ditinggalkan oleh As Sangkili yang berkembang
pesat ditanah Minang yang terkenal dengan religiusnya itu..
As-Sinkili meningggal dan dikuburkan di Kuala, mulut
sungai Kapuas. Tempat tersebut kini menjadi tempat ziarah yang banyak
dikunjungi banyak orang.
Sedang
Muhamad Yusuf Al Makasary setelah bertemu dengan gurunya yakni Syaikh Abu
Barakat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al Kholwati Al Khurosy As Syami Ad Dimasqy,
kemudian diberi otoritas untuk menjadi kholifah bagi aliran Thariqot
Kholwatiyah dan diberi gelar dengan Taj Al Kholwati ( Mahkota Kholwati ).
Setelah kembali ke Aceh ia pun mulai mengembangkan paham Kholwatiyah ditanah
Rencong ini.
Adapun
Nuruddin Muhammad bin Ali bin Muhammad Ar-Raniri (Ar-raniri) masuk ketanah Aceh
pada masa kekuasaan sultan Iskandar muda. Tapi Pada masa itu yang berperan
sebagai mufti kerajaan adalah Syamsudin
As-Sumatrani, putra kelahiran Aceh, beliau adalah murid hamzah Fansuri dan
mendapatkan pendidikan kesufian dari hamzah Fansuri yang diberi gelar ulama'
dan berpemahaman Sufi Wujudiyah. Dikarenakan kedudukan yang disandangnya cukup
strategis, maka dengan mudah ia mengembangkan paham yang dianutnya itu.
Syamsudin ini bekerjasama dengan Hamzah Fansuri, seorang ulama' yang banyak
mengekspresikan pemahamannya melalui keindahan kata ( prosa ).
Dan dari
beberapa catatan literatur diperoleh informasi, bahwa orang-orang Indonesia dan
Melayu yang study di Timur Tengah, kemudian pulang ke Nusantara dan menyebarkan
ajaran tasawwuf (tarekat) masih banyak lagi. Ada beberapa nama yang perlu di
sebutkan disini mengingat keterkaitannya dalam penyebaran tarekat di Indonesia
yang hingga sekarang ajarannya masih berujud. Mereka adalah Abdus Shomad al
Palimbani dan Muhammad Arsyad al Banjari (1710,1812 M). Nama terakhir ini
termasuk yang mampu merombak wajah Kerajaan Banja di Kalimantan Selatan. Bahkan
karya bukunya yang banyak dikaji di beberapa wilayah Indonesia dan Asia
Tenggara, Sabil Al Muhtadiin, kini diabadikan sebagai nama masjid besar di Kota
Banjar Masin.
Pendapat
yang berkembang dikalangan Ahlu Tarekat, dewasa ini di Indonesia bekembang dua
macam kelompok tarekat, yaitu tarekat mu'tabarah dan ghairu mu'tabarah.
Beberapa kelompok yang tergolong mu'tabarah seperti; Qodariyah, Naqsyabandiyah,
Tijaniyah, Syathariyah, Syadzaliyah, Khalidiyah, Samaniyah dan Alawiyah. Dari
sekian banya Thariqot mu'tabarah (berdasarkan muktamar NU di pekalongan tahun
1950, dinyatakan 30 macam Thariqot yang di nilai mu'tabarah ), Thariqot
Naqsabandiyah - Qodariyah merupakan yang terbesar.
C. Pemikiran
Tokoh Tasawuf di Indonesia
Sejarah
islam dan berbagai cabangnya, termasuk sejarah tasawuf dan pengikutnya sangat
penting untuk diperkenalkan dan dibahas, diantaranya adalah mengenai
tokoh-tokoh dari ajaran tasawuf di Indonesia ini. Karena, tasawuf terus
mengalami perkembangan dan memberi pengaruh penting di Indonesia. Sejak
permulaan sejarah Islam di wilayah tersebut hingga hari ini, selama beberapa
abad permulaan sejarah, terutama pada abad ke-10 H/ 16 M dan ke-11/ 17 M,
tasawuf memainkan peranan terbesar dan paling menentukan dalam membentuk
pandangan religius, spiritual, dan intelektual di kepulauan Indonesia dan
kepulauan disekitarnya.
Disini kami akan menjabarkan tentang beberapa tokoh-tokoh
ulama tasawuf di Indonesia.
Diantaranya Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Nawawi al- Bantani, Syeikh
H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA),
Walisongo dan Syeikh Siti Jenar.
1. Syeikh
Hamzah Fansuri
Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus atau Fansur,
sekarang merupakan kota kecil Pantai Barat Sumatra, antara Sibolga (Sumatra
Utara) dan Singkel (Aceh Selatan). Hamzah Fansuri belajar di berbagai tempat,
seperti; Aceh, Jawa, Tanah Melayu, India, Persia, Arab, dsb. Diantara guru yang
paling berpengaruh adalah Ibrahim Bin Hasan al- Kurani (Madinah). Keahlian
beliau terletak pada bidang ilmu fiqh, tasawuf, mantiq, sejarah, filsafat, dan
sastra. Di bidang tasawuf misalnya, beliau merupakan salah seorang ulama yang
mengajarkan Wahdatul Wujud. Jalan pikiran tasawufnya banyak dipengaruhi
oleh Ibnu Arabi, Abdul Karim Jili, Husain Mansur al-Hallaj, al-Bistami,
Fariduddin Attar Jalaluddin Rumi, Syah Nikmatullah, dan lain-lain.
Kecenderungannya terhadap mereka bisa dilihat ketika ia mengajarkan bahwa Tuhan
lebih dekat daripada urat leher manusia sendiri, dan bahwa Tuhan tidak bertempat,
sekalipun sering dikatakan bahwa Ia ada di mana-mana. Seperti ayat berikut:
1. وَنَحْنُ
أَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ
…Dan Kami
lebih dekat kepadanya (manusia) daripada urat lehernya. Beliau memaknai
ayat itu, adalah ”Kami terlebih dekat-yakni bercampur dan mesra, serta bersatu
wujud Allah dengan insan-daripada urat lehernya”. Akan tetpi, beliau menolak
ajaran pranayama dalam agama Hindu yang membayangkan Tuhan berada di
bagian tertentu seperti ubun-ubun yang dipandang sebagai jiwa dan dijadikan
tiik konsentrasi dalam uaha mencapai persatuan. Meski demikian, Hamzah juga
mengembangkan ajaran-ajaran tersebut berdasarkan pengalaman rohaniahnya
sendiri.
Beliau juga menguasai bahasa Arab,
Persia, Urdu, dan merupakan penulis yang produktif, yang menghasilkan bukan
hanya risalah- risalah keagamaan, tapi juga karya- karya prosa yang sarat
dengan gagasan- gagasan mistis. Beberapa buku-buku syairnya, antara lain; Syair
Burung Pingai, Syair Dagang, Syair Pungguk, Syair Sidang Faqir, Syair
Ikan Tongkol, dan Syair Perahu. Adapun karangan-karangannya dalam bentuk
kitab ilmiah, antara lain; Asrarul ’Arifin, Fii Bayaani ’Ilmis Suluuki wat
Tauhid, Syarbul ’Asyiqin, Al- Muhtadi, Ruba’i Hamzah al Fansur.
2. Syeikh Nawawi al- Bantani
Syekh Nawawi bukan ulama yang ahli
dalam sau bidang ilmu saja, bahkan Abdurrahman Mas’ud menyebut dia sebagai
”Kiai Intelektual Ensklopedi”. Ilmu yang dia ajarkan hampir semua cabang ilmu
agama Islam seperti fiqh, tauhid, tata bahasa Arab, dan bahkan tafsir al-Qur’an.
Sesudah menuntut ilmu selama 30 tahun dari para ulama dan tinggal di Makkah,
Syekh Nawawi tidak saja mampu membaca al-Qur’an secara sempurna, tetapi juga
menghapalkannya. Banyak murid belajar tafsir kepadanya, diantaranya adalah K.H
Hasyim Asy’ari (pendiri NU dan Pahlawan nasional), K.H Ahmad Dahlan (pendiri
Muhammadyah), dan Kiai Kholil Bangkalan (tokoh kharismatik dari Madura). Mereka
kemudian meminta syekh untuk membukukan tafsir al-Qur’an yang dia ajarkan
kepada mereka. Kitab tafsirini pada akhirnya terbit dan dikenal sebagai Tafsir
Marah Labid atau Tafsir al-Munir atau Tafsir an-Nawawi.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya
yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi,
Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya
tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian
(mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan
etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan
berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai
ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq.
Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral
(Adab)
3. Syeikh H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
Beliau
aktif dalam soal keagamaan dan politik, selain itu ia merupakan seorang
wartawan, penulis, editor, dan penerbit.. Sejak tahun 1920-an, ia menjadi
wartawan beberapa buah akhbar seperti
Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah.Pada yahun
1928, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar.
Untuk
menimbulkan persepsi yang berbeda di kalangan khalayak ramai tentang tasawuf,
Hamka kemudian memunculkan istilah tasawuf modern. Hal ini berdasar pada
prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman mukasyafah. Jalan tasawufnya
dibangun lewat sikap zuhud yang dapat dirasakan melalui peribadatan resmi.
Penghayatan tasawufnya berupa pengalaman takwa yang dinamis, bukan keinginan
untuk bersatu dengan Tuhan (univate state), dan refleksi tasawufnya
berupa penampakan semakin tingginya semagat dan nilai kepekaan social-relligius
(social keagamaan), bukan karena ingin mendapatkan karamah (kekeramatan)
yang bersifat magis, metafisis, dan yang sebagainya. Konsep-konsep
tasawuf yang diterangkan Hamka sangat dinamis. Ia memahami tasawuf dengan
pemahaman yang lebih tepat dengan roh dan semangat ajaran Islam. Hamka tidak
memahami tasawuf sebagaimana gerakan tarekat dan sufistik pada umumnya. Tasawuf
model Hamka ini menandingi tasawuf tradisional yang cenderung membawa
bibit-bibit ke-bid’ah-an, khurafat, dan kesyirikan. Sementara Hamka
adalah ulama modernis (Mujaddid) yang begitu anti dengan hal-hal
tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan, corak tasawuf Hamka adalah tasawuf
pemurnian.
Tahun
1962 Hamka mulai menafsirkan al-Qur’an, yakni “Tafsir al-Azhar” 30 juz (5
jilid). Tafsir ini sebagian besar dapat terselesaikan selama di dalam tahanan.
(Hari senin tanggal 12 Ramadhan 1385, bertepatan dengan 27 Januari 1964 sampai
Juli 1969). Bulan Juli 1975, Musyawarah Alim Ulama Seluruh Indonesia
dilangsungkan. Hamka dilantik sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia pada
tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan 17 Rajab 1395 M.
Hamka
telah berpulang ke Rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya
masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam
4. Walisongo
Maraknya
pengajian tasawuf dewasa ini, dan kian bertambahnya minat masyarakat terhadap
tasawuf memperlihatkan bahwa sejak awal tarikh Islam di Nusantara, tasawuf
berhasil memikat hati masyarakat luas. Dalam banyak buku sejarah diuraikan
bahwa tasawuf telah mulai berperanan dalam penyebaran Islam sejak abad ke-12 M.
Peran tasawuf kian meningkat pada akhir abad ke-13 M dan sesudahnya, bersamaan
munculnya kerajaan Islam pesisir seperti Pereulak, Samudra Pasai, Malaka,
Demak, Ternate, Aceh Darussalam, Banten, Gowa, Palembang, Johor Riau dan lain-lain.
Itu artinya Wali Songo yang sangat berperan dalam penyebaran Islam di Indonesia
khususnya Tanah Jawa, mempunyai andil yang besar dalam mengajarkan tasawuf
kepada masyarakat. Pada abad ke-12 M, peranan ulama tasawuf sangat dominan di
dunia Islam. Hal ini antara lain disebabkan pengaruh pemikiran Islam al-Ghazali
(wafat 111 M), yang berhasil mengintegrasikan tasawuf ke dalam pemikiran
keagamaan madzab Sunnah wal Jamaah menyusul penerimaan tasawuf di kalangan
masyarakat menengah. Hal ini juga berlaku di Indonesia, sehingga corak tasawuf
yang berkembang di Indonesia lebih cenderung mengikuti tasawuf yang diusung
oleh al-Ghazali, walaupun tidak menutup kemungkinan berkembang tasawuf dengan
corak warna yang lain.
Abdul Hadi W. M. dalam tesisnya menulis : “Kitab tasawuf yang paling awal muncul di Nusantara ialah Bahar al-Lahut (lautan Ketuhanan) karangan `Abdullah Arif (w. 1214). Isi kitab ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang wujudiyah Ibn `Arabi dan ajaran persatuan mistikal (fana) al-Hallaj”. Ini menunjukan bahwa bahwa disamping tasawuf sunni juga berkembang tasawuf falsafi di masyarakat. Sehingga sejarah mencatat di samping Wali Songo sebagai pengusung tasawuf sunni juga muncul Syekh Siti Jenar sebagai penyebar tasawuf falsafi dengan ajaran ‘manunggaling kawula gusti’. Dengan demikian secara garis besar aliran tasawuf yang berkembang pada zaman Wali Songo dapat dikelompokan menjadi dua,yaitu:
1. Tasawuf Sunni[2]
Tasawuf sunni adalah bentuk tasawuf yang memagari dirinya dengan Al-Qur'an dan Al Hadits secara ketat, serta mengaitkan ahwal (keadaan) dan maqamat (tingkat rohaniah) mereka pada dua sumber tersebut. Tasawuf sunni adalah tasawuf yang mengedepankan praktis, maka termasuk di dalamnya tasawuf akhlaki dan amali. Dalam tasawuf sunni terdapat tiga langkah utama yang yang harus dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT :
· Senantiasa mengawasi jiwa
(muraqabah) dan menyucikannya dari segala kotoran.
Firman Allah SWT: "Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya rugilah orang yang mengotorinya". [Asy-Syams : 7-10]
Firman Allah SWT: "Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya rugilah orang yang mengotorinya". [Asy-Syams : 7-10]
· Memperbanyak zikrullah. Firman Allah
SWT: "Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama)
Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya". [Al-Ahzab: 41]. Sabda Rasulullah
SAW "Senantiasakanlah lidahmu dalam keadaan basah mengingat Allah
SWT".
· Zuhud di dunia, tidak terikat dengan
dunia dan gemarkan akhirat. Firman Allah SWT: "Dan tiadalah kehidupan
dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sesungguhnya
kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah
kamu memahaminya?". (Al-Anaam : 32)
2. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma'rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ke tinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma'rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat.
Di
dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni,
kalau tasawuf sunni lebih menonjol kepada segi praktis, sedangkan tasawuf
falsafi menonjol kepada segi teoritis sehingga dalam konsep-konsep tasawuf
falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis,
yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi
orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.
5.
Konsentrasi
Tasawuh Syeikh Siti Jenar
Salah
satu bagian ajaran yang disampaikan Syek Siti Jenar adalah ajaran "Sangkan
Paraning Dumadi" artinya asal dari segala ciptaan. Menurut Syek Siti Jenar
bahwa pangkal dari segala ciptaan adalah Dzat Wajibul Wujud yang tak
terdefiniskan yang diberi istilah "awang uwung" (Ada tetapi Tidak
Ada, Tidak Ada tetapi Ada) yang keberadaannya hanya mungkin ditandai oleh kata
"tan kena kinaya ngapa" yang disebut dalam Al Quran "Laisa
Kamitslihi Syaiun" artinya " tidak bisa dimisalkan dengan sesuatu”.
Inilah tahap Ahadiyah. Dari keberadaan Yang Tak Terdefinisikan itulah Dzat
Wajibul Wujud. Yang Tak Terdefinisikan mewahyukan Diri sebagai Pribadi Ilahi yang
disebut Allah. Inilah tahap Wahdah dimana Yang Tak Terdefinisikan mewahyukan
diri menjadi Rabbul Arbab. Dari tahap wahdah ini kemudian mewahyukan Diri
sebagai Nur Muhammad. Inilah tahap Wahidiyah dimana Yang Tak Terdefinisikan
mewahyukan diri sebagai Rabb. Nur Muhammad ini kemudian mewahyukan Diri menjadi
semua ciptaan yang disebut mahluk, baik yang kasat mata maupun tidak kasat
mata. Dengan pandangan itu konsep keesaan (tauhid) Ilahi yang diajarkan Syekh
Siti Jenar tidak bisa disebut wahdatul wujud, karena di dalam doktrinnya
disebutkan bahwa "Dia Yang Esa sekaligus Yang Banyak (al wahid al katsir),
Dia adalah Yang Wujud secara bathin dan Yang Maujud secara dhahir, sehingga
disebut Yang Wujud sekaligus Yang Maujud (Ad-Dhahir Al Bathin)". Berbagai
pandangan muncul dalam memberi tanggapan terhadap tasawuf Syekh Siti Jenar
dengan ajaran “manunggaling kawula gusti”-nya, diantaranya :
1.
Menganggap Syekh Siti Jenar Sesat, dengan alasan ajaran tasawufnya telah
tercampuri ajaran filsafat, yang mengatakan bahwa makhluk itu merupakan
pancaran dari sang Khalik (Teori Emanasi), sehingga dia berani menyatakan diri
sebagai tuhan karena dirinya mewarisi sifat-sifat tuhan.
2.
Menganggap Syekh Siti Jenar Tidak Sesat, dengan alasan ajaran Syekh Siti Jenar
lebih memberikan tekanan pada filsafat ketuhanan dan filsafat kebenaran dengan
kata lain bukan lagi berhenti pada tataran syariat, tetapi telah melangkah pada
tataran yang lebih tinggi yakni hakekat. Sebagaimana diketahui tahapan tasawuf
itu meliputi syariat, tarekat, hakekat dan makrifat. Hanya saja ketika ajaran
ini disampaikan kepada orang awam maka akan menimbulkan penafsiran yang berbeda
tentang Tuhan. Karena itu Wali Songo sepakat untuk melenyapkan Syekh Siti Jenar
dalam rangka melindungi pemahaman ketauhidan mayoritas orang awam pada saat
itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seiring
dengan masuk dan berkembangnya agama islam di Indonesia, tasawuf juga mengalami
perkmbangn yang sangat pesat. Di Indonesia sendiri tasawuf terpecah menjadi
dualiran yaitu tasawuf suni dan tasawuf falsafi.
Karena
perkembangannya sangat pesat, maka banyak bermunculan aliran-aliran tarekat
untuk mempelajari tasawuf.
Perkembangan
taswuf di Indonesia mempunyai hakikat tujuan yakni islamisasi penduduk
Indonesia yang masih menganut kepercayaan tradisional yang bersifat animisme,
dinamisme dengan pengaruh mistiknya, sementara itu tasawuf digunakan oleh para
wali untuk mengadakan pendekatan dengan masyarakat. Perkembangan tasawuf bukan
hanya di pulau jawa akan tetapi di pulau-pulau lain kepulauan nusantara.
Berdasarkan
hal diatas , perkembangan Islam di Indonesia sangat terkait sejarah dan
pemikirian tasawuf. Atau dengan kata lain penyebaran Islam di Nusantara tidak
dapat dipisahkan dari tasawuf. Bahkan " Islasm Pertama " yang
dikernal di Nusantara ini sesungguhnya adalah Islam yang disebarkan dengan
sufistik. Para penyebar Islam di Indonesia itu umunya pada Da'i yang memiliki
pengetahuan dan pengamalan tasawuf. Dianatar mereka juga banyak yang menjadi
pangamal dan penyebar tarekat di Indonesia.
Daftar Pustaka
Dr. H. Abuddin Nata, M.A. AKHLAK TASAWUF. PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta:2002
Dr. Hj. Sri Mulyati, MA. Mengenal & Memahami
Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Prenada Media, Jakarta:2005
Dr. Hj. Sri Mulyati, MA.Tasawuf Nusantara
RangkaianMutiara Sufi Terkemuka. Prenada Media, Jakarta:2005
Drs. Kharisudin Aqib, M.Ag. Al Hikmah Memahami
Theosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dunia Ilmu Offset:1998
Drs. Mahyuddin. Kuliah Akhlak Thaswuf. Kalam
Mulia, Jakarta:2005
Prof Dr. Ahmad Daudy, MA. Tasawuf Aceh. Bandar Publishing, Aceh;2008.
http://daritemanuntukteman.blogspot.com/2009/07/sebuah-catatan-kecil-dari-tasawuf-di.html
Sri
Mulyani,Tasawuf Nusantara, Kencana, Jakarta, 2006, hal, 1
http://izubed.blogspot.com/2012/05/perkembangan-tasawuf-dan-tarekat.html
http://taurylubiz.blogspot.com/2011/05/tokoh-tokoh-tasawwuf-di-indonesia.html
http://jawharie.blogspot.com/2010/12/perkembangan-t
asawuf-pada-zaman-wali.html